CABIN FEVER SYNDROM, APA ITU?


Beberapa tahun belakangan ini suamiku memutuskan bekerja dari rumah, kalau sekarang dikenal dengan wfh atau work from home, keputusan itu dilandasi oleh alasan bahwa ngantor ke Jakarta itu amatlah melelahkan, dan sebelumnya juga sudah diawali dengan membuka sebuah rumah makan di daerah kampus UIN Jakarta.

Usaha lainnya kemudian dilanjutkan dengan membuka rental, trading sampai membuka usaha sebagai suplyer alat-alat kontruksi yang kesemuanya berbasis online.

Tentu kesemuanya dijalani dengan tidak mudah, banyak aral rintangan yang menghalangi, tetapi Alhamdulillah dengan seijin Allah, kami bisa melewatinya.

Di dalam tulisan  ini, bukan perkara itu yang ingin saya bahas, tetapi tentang syndrom yang menyerang seseorang saat berada di rumah yang belakangan dikenal dengan sebutan cabin fever syndrome.

Banyak hal atau alasan yang membuat seseorang memutuskan untuk tinggal dan beraktivitas di rumah, dan semua orang tentu saja punya perkara atau masalah berbeda-beda yang mereka hadapi di dalam hidup mereka.


Akhir-akhir ini, semua murid dan para pekerja dirumahkan dengan alasan pandemi covid yang melanda dunia. Bagi kita-kita yang sudah menikmati dunia rumah dengan segala lika-likunya, hal itu tentu tidak menimbulkan masalah, tetapi bagi orang lain yang terbiasa bekerja di luar dan mengapresiasi diri mereka dengan bertemu orang banyak, berada di rumah tentu adalah hal yang menjemukan, walupun di satu sisi mereka bisa bekerja, beristirahat, mengurus rumah dan anak-anak secara berbarengan, tanpa harus meninggalkan rumah. Tetapi di sisi lain, hal itu tentu sangat mempengaruhi tingkat stress, karena pekerjaan rumah dan pekerjaan kantor sama-sama menumpuk ditambah lagi harus juga menemani anak-anak belajar secara daring.

Suatu hari saya pernah berkata kepada suami saya, "Buya, tahu ngga, kalau dulu aku sempat merasa stress ngga karuan saat aku baru menikah, penyebabnya adalah pada saat itu aku merasa ditinggalkan oleh teman-temanku, biasanya kan mereka selalu rehat di kostan sejak dari pertama aku kuliah, setelah menikah mereka itu sungkan, padahal Buya juga kan engga ada di rumah"

"Penyebab yang kedua adalah, saat habis melahirkan, aku merasa badanku rusak, dan terjebak di dalam rumah, sedangkan Buya bisa kerja dan aktif di luar"

"Penyebab yang ketiganya, pada saat itu rumah yang kita tempati lebih dari cukup untuk kita, tetapi kita bersama adek-adek berjuang untuk melanjutkan hidup, sehingga rumah terasa pengap dan berisik, padahal saat itu kita baru punya anak bayi yang sedang susah-susahnya tidur"

Kedengarannya sederhana, tetapi itu adalah masa transisi yang sulit dihadapi, di mana kita terbiasa beraktifitas di luar sejak pertama kali menginjakkan kaki di bangku sekolah, namun kemudian harus berada di rumah saat sudah menikah. Akhirnya merasakan gejala-gejala psikologis seperti gelisah, sedih, bosan, mudah tersinggung, dan perasaan negatif lainnya akibat terlalu lama diam di suatu tempat dan terisolasi dari lingkungan sekitar, dan itulah yang disebut dengan cabin fever syndrome.

"Nah hal itulah yang aku hadapi pada saat itu Buya, ditambah lagi aku melahirkan dan kemudian menghadapi syndrom baby blues"

Pada saat ini kan aku malah sering keluar untuk mengisi beberapa kegiatan, sedangkan Buya memilih untuk bekerja di rumah dan tetap menghasilkan, aku mau nanya karena khawatirnya dengan kepergian aku keluar selama ini itu menyinggung perasaan Buya dan membuat Buya memiliki perasaan yang sama seperti aku pada saat itu...


dan lalu Buya berkata, "engga... engga sama sekali... Buya malah merasa bangga ketika kamu aktif di luar dan mempunyai peran di masyarakat"

“Owh… sweeet... thank you”

| 1 komentar