Kisah di suatu pagi : Buya, hati-hati ya...!

Pancar : "Buya, hati-hati ya di jalan"

Buya : "iya, ma kasih ya... Assalamualaikum"

Pancar : "wa alaikum salam"

Buya berangkat

Pancar : "Bunda, aku bilang ke Buya untuk hati-hati karena aku ngga mau jadi anak apa tuh kalau bapaknya neninggal"

Bunda : "anak yatim maksudnya"

Pancar : "iya, aku ngga mau jadi anak yatim, nanti ngga ada yang nyariin duit"

Bunda : "oh gitu"

Pancar: "aku senengnya Bunda di rumah aja"
| Tidak ada komentar

Sepenggal Kisah Kajian Parenting

Mengapa saya begitu keukeuh untuk menyelenggarakan kajian parenting secara continue, adalah karena kita menghadapi anak-anak kita setiap hari, tapi sudah cukupkah perbekalan kita untuk mendidik dan merawat mereka secara optimal dengan sekian tugas rumah yang tak kunjung selesai. Alhamdulillah di Indonesia ini untuk masalah pengajian, orang bisa leluasa mau mengaji di mana saja, masjid berjamuran ada dimana-mana, tapi kalau kajian parenting walaupun sudah banyak yang menyelenggarakan, tapi belum tentu bisa continue menyelenggarakan setiap bulan, dan sebagai pembelajar tentu saja kita butuh yang namanya follow up.

oleh karena itu saya memberanikan diri menawarkan dan menyelenggarakan kajian ini secara mandiri di kediaman saya bagi lingkungan sekitar, dengan harapan dapat menjadi sebuah forum yang saling mengokohkan keluarga masing-masing, kalau boleh pinjam istilah yang diproklamirkan Ayah Edy, Indonesia itu harus Strong from Home, agak susah, mungkin susah, atau sangat susah jika mengharapkan dari luar, toh sekolah lebih memfokuskan pendidikannya pada hal-ahal yang terkait akademik saja, hal-hal yang sebetulnya termasuk keterampilan yang paling mudah dibandingkan dengan harus menggembleng karakter anak, tentu saja butuh bertahun-tahun untuk ini.

Belajar menjadi orang tua yang baik adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, tidak hanya berlaku bagi keluarga-keluarga yang orang tuanya  berpendidikan tinggi tapi juga bagi keluarga yang tak beruntung dalam mengecap pendidikan, karena tantangan zaman dan kemajuan teknologi  berlaku untuk semua anak-anak di dunia ini, oleh karenanya kita mesti mempersiapkan bekal untuk anak-anak kita dalam menghadapi arus globalisasi ini. Satu kalimat ini saya renungkan betul-betul terutama saat kajian pertama yang saya selenggarakan didominasi oleh audience yang berasal dari luar komplek dan notabene adalah ibu-ibu janda Dhuafa yang berprofesi sebagai asisten rumah tangga di komplek ini.


Akhirnya kejadian juga harus menyederhanakan bahasa parenting ini ke dalam bahasa sehari-hari yang lebih dimengerti oleh mereka, sesuatu yang tadinya saya anggap luar biasa,  dan kemudahan itu datang dari Allah sang pemilik alam ini, semoga saja hal ini memberikan manfaat untuk mereka, walaupun sempat berkecil hati sebelumnya. Namun adalah sebuah keharusan bagi saya untuk berusaha melakukan yang terbaik dengan kemampuan yang saya punya, dan adalah hak prerogatif Allah untuk menggerakkan hati dan fikiran mereka ke arah yang lebih baik.

Wallahu A'lam


| Tidak ada komentar

Follow Up Belajar Sabar dan Membangun Citra Diri yang Baik

Masih dalam edisi mendampingi Pancar (5 th) bersabar...

Sore itu sekitar dua hari yang lalu saat kami semua bersiap-siap sholat maghrib berjamaah, Pancar terjatuh di pintu kamar mandi, tangisannya melengking-lengking seakan dunia mau runtuh.

 

sumber: kompasiana.com

Saya menghampirinya dan menuntunnya untuk duduk, agak sebal memang saat memikirkan betapa hiperbolanya tangisan itu, betapa yang ia cari juga mungkin hanya sekedar perhatian saja atas kecelakaan kecil yang ia anggap besar.


Sambil menuntunnya duduk saya katakan "sakit ya... duduk dulu ya" tanpa dibuat-buat, hal ini dimaksudkan agar ia tidak semakin melebih-lebihkan sakitnya, saya terima perasaannya kalau dia sakit, namun saya juga tidak mau mendramatisir keadaan dengan menyatakan simpati yang terlalu berlebihan.

Memakai kalimat mba Ellen Kristi dalam blognya Pustaka Charlotte Mason Indonesia, beberapa contoh kalimat penyangkalan/penolakkan yang paling sederhana saat anak terjatuh, lututnya mungkin merah, kita pikir tidak ada yang lecet, pasti tidak terlalu sakit (menurut kita). Tapi anak menangis keras-keras, seolah-olah dunia mau runtuh, berlebihan (menurut kita). Maka apa yang kita katakan?  "Diam, gitu aja nangis!", "sudah tidak apa-apa, sebentar juga sakitnya hilang!" "Kan ngga lecet, ngga terlalu sakit itu". Jadi kita  menyangkal/menolak perasaan anak. Dia merasa sakit tapi kita memaksanya untuk yakin bahwa dia tidak sakit. Dia membayangkan sakit itu akan berlangsung lama, dan kita berkeras bahwa sakit itu cuma sebentar. Lalu kita menyuruh mereka untuk berhenti menangis, padahal mereka merasa ingin menangis. "Dan anak-anak tidak punya kendali atas keinginan menangis itu".


Setiap penyangkalan semacam ini, entah disampaikan secara halus maupun kasar, membuat anak-anak jadi tak kenal diri dan perasaan-perasaan mereka sendiri, bahkan merasa bersalah atas emosi mereka. “Aku tak boleh menangis! Aku tak boleh sedih! Aku tak boleh marah!” dan seterusnya. Sangat tidak sehat secara emosional baginya dalam jangka panjang. Selain itu, penyangkalan memblokir koneksi batin antara anak dan orangtua. Anak merasa bahwa orangtua tidak menerima dirinya apa adanya, hanya mau melihat yang baik-baik saja, tidak mempercayai perasaannya. Tak heran ia di kemudian hari belajar untuk menyembunyikan perasaannya dari orangtuanya, dan makin lama orangtua dan anak makin tidak mengenal satu sama lain – dan makin banyak konflik yang muncul!

Lebih lanjut lagi mengenai penyangkalan/penolakkan tersebut oleh Fauzhil Adhiem disebutkan sebagai faktor memberikan andil besar terhadap pembentukkan citra diri yang buruk. Yakni bagaimana cara seseorang memandang dirinya sendiri berpengaruh besar terhadap penerimaan diri. Cara memandang diri sendiri sangat terkait dengan keyakinan tentang diri. Seseorang yang merasa tidak berharga, menganggap bahwa tidak ada satu pun yang mau menerima dirinya, maka sebanyak apa pun kawan disekelilingnya dan sebaik apapun sikap orang terhadapnya, tetap tidak bisa membuatnya menerima diri sendiri. Ahhh... saya pernah mengalaminya, trust me "ini sangat melelahkan".

Kembali ke kisah jatuhnya Pancar di kamar mandi, saya mulai memakai mukena dan mengajaknya sholat, tangisnya sudah mereda, seusai sholat saya menanyakan kembali pelajaran kesabaran tempo hari, "kakak tadi jatuh, kakak mau sabar apa ngga?"

Pancar : "mau"

Bunda : "kenapa?"

Pancar : "karena kalau sabar dapat pahala, kalau ngga sabar dapat sakit aja"

Bunda : "good Pancar"

 

Lalu kami pun berdoa " Ya Allah, hari ini kakak Pancar jatuh di kamar mandi, tapi kakak Pancar sedang belajar menjadi anak yang sabar, Ya Allah terima kasih Engkau telah menjadikan kakak Pancar anak yang sholeh."

Begitulah pelajaran yang kami peroleh hari itu, bukan cuma Pancar yang sedang berusaha bersabar, Bunda juga harus menjadi tauladan kesabaran, semoga hal ini berguna bagi ujian kehidupan, karena sabar tidak hanya diperlukan di saat susah dan sakit tapi juga di saat senang dan bergelimangan.

| Tidak ada komentar

Parenting, berkaca pada mie instan


Pancar: "aku sebel sama nyamuk, tiap hari aku bentol terus"

Bunda: "gatel ya kak, (ungkapan menerima perasaan) kita ikhtiar dulu ya... pakein minyak telon"

Pancar: "nanti masih gatel trs bentolnya ngga ilang-ilang"

Bunda: "kita ikhtiar dulu, pakein minyak, kalau sabar dapat pahala kalau ngga sabar dapat gatelnya aja"

Berusaha untuk konsisten tidak mendikte untuk bersabar dengan kalimat "sabar ya" atau "sabar dong" tapi dengan memberikan pilihan "kalau sabar dapat pahala kalau ngga sabar dapat gatel aja" dengan begitu saya tidak menolak perasaan dia yang sedang sebal, tapi lebih dengan memberikan pilihan, dengan sendirinya dia memilih.

Pancar mulai senyum-senyum.

Ini hari kedua dengan dialog yang hampir sama, tapi dengan tingkat kesabaran yang berbeda, sudah ada kemajuan, orang tua juga perlu belajar bersabar dengan prosesnya karena untuk menikmati mie rebus instan saja sebetulnya memerlukan proses yang tidak instan di dalam pabriknya.

| Tidak ada komentar