Saat mainan baruku dirusak dede


Pancar: "Bunda, mainan aku dipatahin sama dede, aku boleh beli lagi ya hari ini"

(Si pelaku pematah mainan yg saat ini berumur dua tahun sedang tertidur pulas siang ini)

Bunda: "kan kesepakatan kita boleh beli mainan hari jumat"

(Kesepakatan yang dibuat berdasarkan kasus
setiap hari membeli mainan seribuan di warung)

Pancar: "tapi dede yang rusakin, aku kesel"



Bunda: "o ya kaka kesel ya, begini aja anggap aja tadi mainan batman nya habis bertempur melawan joker dan tangannya patah, dan sekarang harus dilakukan operasi"

Pancar: "terus gimana dong"

Bunda: "sekarang kaka ambilkan selotipnya, biar bunda yang jadi dokternya"

(Srrrrrutttt... dengan secepat kilat mengambil selotip)

Bunda: "Batman dioperasi dulu ya karena mengalami patah tulang, ini tangannya harus diselotip dulu, mudah2an bisa bertahan sampai minggu depan. Nah kan sudah selesai."

Pancar: "tapi tangannya ngga bisa digerakkin"

Bunda: "iya kan habis operasi, waktu teteh kaori kakinya habis dijahit jg ngga boleh bergerak dulu, batman juga harus istirahat dan ngga boleh gerakin tangannya dulu."

(Pancar senyum-senyum dan satu jam kemudian dia laporan lagi)

Pancar: "Bunda,  kepalanya patah"

Bunda: "wah kalau kepalanya yang patah itu artinya Batman is died, kalau tangannya patah masih bisa hidup, tapi kalau kepalanya patah itu artinya mati"

(Tapi Pancar dengan sigap mengoperasi leher Batman dg selotip)
Lalu berteriak "Bunda.... taraaaa"

| Tidak ada komentar

Biar bisa berkumpul di syurga

Refleksi sebelum tidur (kaori 7 thn)

Bunda, teteh mau ngumpulin pahala biar bisa  masuk surga bareng-bareng sama bunda sama buya sama kakak dan sama dede.

Teteh mau ngumpulin pahala untuk membalas kebaikan Bunda sama Buya, kan Bunda udah melakukan yang terbaik untuk teteh ya.
Ma kasih ya Bunda untuk semuanya.


| Tidak ada komentar

Jika aku menjadi petualang


Diceritakan dan digambar oleh Kaori (7thn)

Jika aku menjadi petualang aku akan melintasi hutan-hutan yang berbahaya. Kalau aku ajak temanku pasti ia ketakutan karena dia takut binatang buas. 

Kalau kita sudah sampai di dalam hutan dia akan bertanya atau berlari-lari kegirangan atau juga duduk atau tiduran di tenda karena ketakutan.

| Tidak ada komentar

MEMAKNAI RUTINITAS

Mengarungi rutinitas sebagai ibu rumah tangga terkadang menjemukan, apalagi jika masih punya anak batita yang siap menuangkan apa saja.

Ibu merapihkan di satu sisi, si batita membongkarnya kembali di sisi yang lain, yang bikin ujian kesabaran bertambah adalah jika lantai menjadi lengket karena tingkah polahnya.

So... terkadang dan seringnya menanti-nanti waktu berlalu dengan segera agar mereka cepat terlelap, sehingga bisa melakukan berbagai aktivitas yang sempat tertunda, baik itu yang sifatnya pekerjaan rumah tangga ataupun pekerjaan yang sifatnya menjadi kran penghasilan.

Di rumah, Kadang-kadang hari-hari berlalu tanpa makna jika kita memikirkan betapa banyak hal yang kita bisa lakukan diluaran sana, di sebuah tempat bernama kantor, sekolah, universitas, rumah-sakit, mall dan tempat-tempat yang membutuhkan tenaga profesional dengan konsekuensi penghasilan rutin tiap bulan.

Namun di rumah, permata-permata kecil kita terlalu berharga untuk kita titipkan kepada seseorang yang kita panggil mba, ibu atau bibik, serta betapa bahagianya mereka berada disamping orangtuanya, merasa aman dan nyaman.

Konsekuensi dari pilihan itu adalah sebuah rutinitas memerlukan waktu untuk beradaptasi, membiasakan diri dingan ritme yang lebih lambat karena harus membersamai anak-anak terutama yang batita, dengan setumpuk pekerjaan yang tak pernah habis, dan waktu terus saja bergulir sedangkan daya dan upaya yang biasa kita lakukan sambil berjalan atau sambil berlari, sekarang malah kita lakukan sambil merangkak.

Untuk melakukan ibadah wajib saja perlu betul-betul berlomba dengan waktu. Namun disinilah pointnya, dengan berusaha sholat tepat waktu menjadikan waktu kita berkah, mengundur-ngundur sholat karena asyik dengan pekerjaan hanya akan menjadikan kita tambah gelisah karena belum menjalankan ibadah wajib dan pekerjaan pun belum tentu selesai dan tak ada habisnya.

Dalam menjalankan ibadah sunah pun begitu, bukan artinya saat kita berusaha bangun malam esoknya kita akan menderita ngantuk dan lemas, justru orang-orang besar punya kekuatan besar dari shalat malam.

So.... so... so... Dengan shalat malam kita mohonkan kepada Allah untuk memberi kekuatan besar kepada kita untuk mendidik dan merawat anak-anak kita sehingga menjadi anak yang sholeh dan sholehah dan bermanfaat untuk umat.

Jangan lupa minta dengan khusyu ya... nanti boleh share ceritanya di sini....

Tanpa kekuatan besar dari Allah, hari-hari akan berlalu sebagaimana mestinya, tak ada yang istimewa, hanya sebuah rutinitas, pagi, siang, sore, malam.


Are you ready to istiqomah ?
| Tidak ada komentar

Gigiku

Gigi teteh goyang dari tahun 2013 sampai tahun 2014. Waktu tahun 2013 goyangnya masih keras terus dipaksa sama buya, terus belum copot-copot sampai sekarang.

Ini gambar waktu gigiku dicopotin buya pakai benang.

| Tidak ada komentar

MENJADI IBU ADALAH PEMBELAJARAN TANPA HENTI



Peran ibu dalam kehidupan seorang anak tentulah sangat besar dan bisa dikatakan juga sebagai peran yang utama dan paling penting dalam pertumbuhan fisik dan jiwa seorang anak, di rahim ibu lah sang juara itu dikandung selama sembilan bulan, kenapa dikatakan sang juara, karena sel kecil itu telah mengalahkan jutaan pesaing yang berlomba-lomba menerobos janin ibunya, kemudian dilahirkan, disusui, dirawat serta dididik, begitu besar peran ini sehingga lembaga pendidikan memakai istilah “almamater” (ibu asuh atau ibu yang memberikan ilmu) yang berasal dari kata scola materna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu).

Setiap jiwa yang dilahirkan seorang ibu ke dunia adalah pemimpin, setiap jiwa ini dilahirkan dengan tipe kecerdasan yang berbeda-beda, zaman dulu saat kita masih kecil, mungkin masih lumrah orang dikategorikan pintar dan bodoh dengan melihat prestasi akademik dengan simbol rengking, walaupun sekarang masih banyak juga orang tua yang menjadikan rengking sebagai tolak ukur kecerdasan anak. Betapa beruntungnya kita karena dewasa ini telah banyak sekali penemuan yang memudahkan kehidupan kita dengan telah ditemukannya alat-alat elektronik yang bisa membantu kegiatan kita sehari-hari, dalam dunia pendidikan dan pengasuhan telah ditemukan  teori multiple intelegencies, hal ini tentu saja  menjadi titik cerah bagi kebahagiaan anak-anak dan orang tua yang mempunyai tipe kecerdasan seperti saya, yang tak melejit secara akademis. Tentunya sudah tak lazim lagi memandang bahwa ada anak bodoh dan anak pintar, karena setiap anak dilahirkan sebagai mahakarya Tuhann-Nya.

Pada ranah kepribadian, para ahli membaginya menjadi tak lebih dari empat tipe dasar kepribadian, yaitu sanguin, korelis, melankolis dan plegmatis. Sanguin dijuluki si populer, karena pandai, persuasif dan ingin terkenal. Korelis, dijuluki si kuat, karena sering dominan dan kompetitif. Melankolis, dijuluki si sempurna, karena ferfeksionis dan serba teratur. Plegmatis, dijuluki si cinta damai, karena kesetiannya dan menghindari konflik.

Saya adalah ibu dari tiga orang anak, tentu saja menjadi ibu adalah sesuatu yang luar biasa, walaupun ketiga anak saya lahir dari orang tua yang sama, namun mereka mempunyai kepribadian yang berbeda-beda, anak pertama misalnya, kehadirannya di dunia ini menghebohkan, bagaimana tidak, di rumah sakit tempatnya lahir ia adalah bayi dengan suara tangis paling nyaring dan melengking, begitu pun saat di bawa pulang ke rumah, kalau minta mimi susu anak ini menangis sejadi-jadinya sampai tetanggga berdatangan, heboh kan, belum lagi aksinya saat dia sudah mulai berbicara dan berjalan. Pada satu sisi saya sangat bangga akan kemandirin serta kedewasaannya di usianya yang masih kecil, namun saya juga harus terus belajar untuk menaklukkan kepribadiannya, emosinya meledak-ledak pada kondisi-kondisi tertentu dan hal ini sudah terlihat dari saat dia masih  bayi dengan tangisannya yang melengking-lengking itu. 

Berbagai hal saya lakukan, mulai dari diet susu sampai belajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pengasuhan dan hal ini tentunya sangat bermanfaat bagi saya, belakangan hari saya ketahui bahwa anak ini mempunyai tipe kepribadian korelis yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang tinggi, lebih suka mengatur dari pada diatur. Jadi sampai saat ini saya masih belajar bagaimana caranya menjadi ibu yang baik untuk anak-anak saya, belajar bisa dari mana saja, bisa lewat pengalaman orang, mendengarkan saran ahli, membaca, bahkan bisa belajar lewat kepolosan dan keriangan mereka. Tentu amanah ini harus dijaga betul-betul, amanah Tuhan ini adalah para pemimpin masa depan bumi dan alam semesta, jangan sampai ketidaksabaran kita membunuh karakter dan mematikan potensinya, karena itulah tujuan mahakarya Tuhan di muka bumi ini, para pemimpin dengan keunikkan potensi masing-masing.

So... menjadi ibu bukan berarti berhenti belajar, jika kita menginginkan anak-anak yang sukses yang dapat menjadi pemimpin yang amanah bagi dirinya, keluarganya serta seluas-luasnya umat, tak ada kata terlambat, mari terus belajar dan bersemangat, read a book, ask the expert, and follow parenting training, belajar bisa dari mana saja kan.
| Tidak ada komentar

SEJARAH SEKOLAH


Mendengar kata “sekolah”, pada umumnya seseorang akan membayangkan suatu tempat di mana orang-orang akan melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengaji sesuatu.
Kata itu umumnya memang diacukan pada suatu system, suatu lembaga, suatu organisasi besar dengan segenap kelengkapan perangkatnya: sejumlah orang yang belajar dan atau mengajar, gedung tempat belajar, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, selingkupan aturan, dan sebagainya, dan seterusnya, dan lain-lain.

Padahal dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae atau schola (latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Alkisah orang yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scola, scolae atau schola. Keempatnya punya arti sama: “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar”.
Lama-kelamaan, kebiasaan mengisi waktu luang mempelajari sesuatu itu, akhirnya tidak lagi semata-mata jadi kebiasaan kaum lelaki dewasa atau sang Ayah dalam susunan keluarga pati masyarakat Yunani Kuno. Kebiasaan itu juga kemudan diberlakukan bagi putra-puri mereka, terutama anak laki-laki, yang diharapkan nantinya dapat menjadi pengganti sang Ayah. Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, sang Ayah dan sang Ibu merasa bahwa mereka pun tak lagi punya waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada putra-putrinya. Karena itu mereka kemudian mengisi waktu anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya kepada seseorang yang dianggap tahu atau pandai di suatu tempat tertentu, biasanya adalah orang dan tempat di mana mereka dulu pernah ber-skhole. Di tempat itulah anak-anak bisa bermain, berlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang mereka anggap patut untuk dipelajari, sampai tiba saatnya kelak mereka harus pulang kembali ke rumah untuk menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya.
Maka sejak saat itulah, telah beralih sebagian dari fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah sebab mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian biasa juga disebut “ibu asuh” atau “ibu yang memberikan ilmu” (alma mater).
Waktu terus berlalu, para orang tua makin terbiasa mempercayakan pengasuhan putra-putri mereka kepada orang-orang atau lembaga-lembaga pengasuh pengganti mereka di luar rumah, dalam jangka waktu yang semakin lama dan semakin teratur pula. Karena semakin banyak anak yang harus di asuh, maka mulai pula diperlukan lebih banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktunya secara khusus untuk mengasuh anak-anak di suatu tempat tertentu yang telah disediakan, dengan peraturan yang lebih tertib, dan dengan imbalan jasa berupa upah dari para orang tua anak-anak itu.
Adalah seorang Johannes Amos Comenius, Uskup Agung Moravia, melalui mahakaryanya yang kemudian dianggap ilmunya pendidikan (tepatnya : teori pengajaran), yakni kitab didactica magna, melontarkan gagasan pelembagaan pola dan proses pengasuhan anak-anak itu secara sistematis dan metodis, terutama karena kenyataan memang adanya keragaman latar belakang dan proses perkembangan anak-anak asuhan tersebut yang memerlukan penanganan khusus.
Melanjutkan tradisi Comenius, adalah seorang berkebangsaan Swiss, Johann Heinrich Pestolozzi, pada abad ke 18, tampil dengan gagasan yang lebih terinci. Orang ini melangkah lebih jauh dengan mengatur pengelompokkan anak-anak asuhannya secara berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan (kemudian disebut mata pelajaran) yang harus mereka lalui secara bertahap. Termasuk pengaturan mengenai  tata cara mereka harus melalui pelajaran tersebut pada setiap tahapan menurut batasan-batasan khas dan terbaku. Upaya ini kemudian dikenal dengan nama “Sistem klasikal Pestalozzi” ini akhirnya menjadi cikal bakal pola pelajaran sekolah-sekolah modern yang kita kenal sekarang dengann perjenjangan kelas dan tingkatannya.
Sebegitu jauh, skhole-nya masyarakat Yunani Kuno pun menjadi suatu tradisi mendunia dengan berbagai keragaman bentuk pengembangan dan penyesuaiannya di berbagai tempat. Orang-orang Yunani Kuno pun bukanlah bangsa pertama dan satu-satunya yang memulai tradisi sekolah. Konon bahkan sebelumnya Socrates dan muridnya, Plato menyelenggarakan academia atau lyceum di Athena, bangsa Cina purba kabarnya juga sudah memulainya pada 2000 tahun sebelum jesus lahir. Dan konon itulah lembaga sekolah tertua di dunia yang pernah diketahui sampai saat ini. Kaum Brahmin India juga sudah menbangun sekolah-sekolah veda mereka setengah abad sesudahnya. Sejarahpun mencatat bahwa hampir semua bangsa di dunia ini sesungguhnya memiliki tradisi pola pengasuhan anak dan lembaga persekolahannya sendiri-sendiri, tentu saja dengan ragam bentuk, sifat dan sebutan yang berbeda-beda.
Begitu juga dengan nenek moyang kita di Nusantara memiliki tradisi serupa yang diwarisi dari tradisi anak benua India dan kemudian juga dari tradisi Jazirah Arab. Tetapi untuk menjelaskan pengertian sekolah seperti yang kita kenal dan pahami dalam bentuknya yang umum saat ini, maka akar keberadaan dan alur kesejarahannya yang berpangkal pada zaman dan tradisi Yunani Kuno itulah yang mesti ditelusuri, yang kemudian kita warisi melalui tradisi sekolah-sekolah colonial, berkat kebijaksanaan “politik balas-budi” kaum sosialis-humanis, Belanda dan Inggris kala itu.
Kata sekolah yang semula hanya berarti pengisian waktu luang, kini bermakna dan mewujudkan diri sebagai suatu system kelembagaan pendidikan yang kadangkala dan celakanya sekaligus diartikan sebagai wujud hakikat pendidikan itu sendiri. Kata itu mestinya memang dipahami dalam konteks kesejarahannya sebagai bagian dari keseluruhan perkembangan umat manusia di mana lembaga itu mewujudkan diri.
Kesadaran kesejarahan kontekstual inilah yang teramat penting untuk memahami hakikat dinamika semua lembaga kemasyarakatan kita, termasuk lembaga sekolah: bagaimana sebenarnya ia mewujud pada saat ini, sebagai hasil dari suatu perjalanan panjang di masa lalu, dan ke arah mana mestinya ia ditujukan untuk menghadapi masa depan yang sangat boleh jadi akan berbeda sama sekali.
Deklarasi Cuarnavaca 1971 : “… apakah kita sedang bergerak kea rah pendidikan yang diperluas dan menyusun rencana dengan gagasan bahwa perkembangan individu adalah suatu praxis, ataukah kita justru sedang menuju ke arah scolae dalam arti kata yang sebenarnya?”

Roem Topatimasang; Sekolah itu Candu hal: 5-12.
| Tidak ada komentar