Follow Up Belajar Sabar dan Membangun Citra Diri yang Baik

Masih dalam edisi mendampingi Pancar (5 th) bersabar...

Sore itu sekitar dua hari yang lalu saat kami semua bersiap-siap sholat maghrib berjamaah, Pancar terjatuh di pintu kamar mandi, tangisannya melengking-lengking seakan dunia mau runtuh.

 

sumber: kompasiana.com

Saya menghampirinya dan menuntunnya untuk duduk, agak sebal memang saat memikirkan betapa hiperbolanya tangisan itu, betapa yang ia cari juga mungkin hanya sekedar perhatian saja atas kecelakaan kecil yang ia anggap besar.


Sambil menuntunnya duduk saya katakan "sakit ya... duduk dulu ya" tanpa dibuat-buat, hal ini dimaksudkan agar ia tidak semakin melebih-lebihkan sakitnya, saya terima perasaannya kalau dia sakit, namun saya juga tidak mau mendramatisir keadaan dengan menyatakan simpati yang terlalu berlebihan.

Memakai kalimat mba Ellen Kristi dalam blognya Pustaka Charlotte Mason Indonesia, beberapa contoh kalimat penyangkalan/penolakkan yang paling sederhana saat anak terjatuh, lututnya mungkin merah, kita pikir tidak ada yang lecet, pasti tidak terlalu sakit (menurut kita). Tapi anak menangis keras-keras, seolah-olah dunia mau runtuh, berlebihan (menurut kita). Maka apa yang kita katakan?  "Diam, gitu aja nangis!", "sudah tidak apa-apa, sebentar juga sakitnya hilang!" "Kan ngga lecet, ngga terlalu sakit itu". Jadi kita  menyangkal/menolak perasaan anak. Dia merasa sakit tapi kita memaksanya untuk yakin bahwa dia tidak sakit. Dia membayangkan sakit itu akan berlangsung lama, dan kita berkeras bahwa sakit itu cuma sebentar. Lalu kita menyuruh mereka untuk berhenti menangis, padahal mereka merasa ingin menangis. "Dan anak-anak tidak punya kendali atas keinginan menangis itu".


Setiap penyangkalan semacam ini, entah disampaikan secara halus maupun kasar, membuat anak-anak jadi tak kenal diri dan perasaan-perasaan mereka sendiri, bahkan merasa bersalah atas emosi mereka. “Aku tak boleh menangis! Aku tak boleh sedih! Aku tak boleh marah!” dan seterusnya. Sangat tidak sehat secara emosional baginya dalam jangka panjang. Selain itu, penyangkalan memblokir koneksi batin antara anak dan orangtua. Anak merasa bahwa orangtua tidak menerima dirinya apa adanya, hanya mau melihat yang baik-baik saja, tidak mempercayai perasaannya. Tak heran ia di kemudian hari belajar untuk menyembunyikan perasaannya dari orangtuanya, dan makin lama orangtua dan anak makin tidak mengenal satu sama lain – dan makin banyak konflik yang muncul!

Lebih lanjut lagi mengenai penyangkalan/penolakkan tersebut oleh Fauzhil Adhiem disebutkan sebagai faktor memberikan andil besar terhadap pembentukkan citra diri yang buruk. Yakni bagaimana cara seseorang memandang dirinya sendiri berpengaruh besar terhadap penerimaan diri. Cara memandang diri sendiri sangat terkait dengan keyakinan tentang diri. Seseorang yang merasa tidak berharga, menganggap bahwa tidak ada satu pun yang mau menerima dirinya, maka sebanyak apa pun kawan disekelilingnya dan sebaik apapun sikap orang terhadapnya, tetap tidak bisa membuatnya menerima diri sendiri. Ahhh... saya pernah mengalaminya, trust me "ini sangat melelahkan".

Kembali ke kisah jatuhnya Pancar di kamar mandi, saya mulai memakai mukena dan mengajaknya sholat, tangisnya sudah mereda, seusai sholat saya menanyakan kembali pelajaran kesabaran tempo hari, "kakak tadi jatuh, kakak mau sabar apa ngga?"

Pancar : "mau"

Bunda : "kenapa?"

Pancar : "karena kalau sabar dapat pahala, kalau ngga sabar dapat sakit aja"

Bunda : "good Pancar"

 

Lalu kami pun berdoa " Ya Allah, hari ini kakak Pancar jatuh di kamar mandi, tapi kakak Pancar sedang belajar menjadi anak yang sabar, Ya Allah terima kasih Engkau telah menjadikan kakak Pancar anak yang sholeh."

Begitulah pelajaran yang kami peroleh hari itu, bukan cuma Pancar yang sedang berusaha bersabar, Bunda juga harus menjadi tauladan kesabaran, semoga hal ini berguna bagi ujian kehidupan, karena sabar tidak hanya diperlukan di saat susah dan sakit tapi juga di saat senang dan bergelimangan.

|

Tidak ada komentar:

Posting Komentar